Aku akan keliling dunia dan menemukan surga. Lihat saja.
Namaku
Arka. Seorang pemuda yang selama 27 tahun hidupnya selalu dihantui
thalasemia. Thalasemia? Ya, penyakit kelainan darah itu sudah mendarah
daging dalam tubuhku. Tak ada kepastian sembuh bagiku. Hidupku
bergantung pada tranfusi darah yang harus dilakukan setiap bulannya, aku
juga harus mendapat suntikan desferal selama 10 jam setiap malam.
Bukankah itu sungguh keterlaluan? Semua ini benar-benar melelahkan.
Rasanya aku ingin mati saja. Seluruh biaya pengobatanku bergantung pada
asuransi kesehatan yang didaftarkan oleh mendiang ayahku. Ya, ayahku
juga begitu. Karena thalasemia lah ia meninggal 10 tahun lalu. Tak
pernah kusangka aku akan mewarisi apa yang telah membunuhnya itu.
Penyakitku ini lebih parah darinya. Aku bisa mati kapan saja karena
thalasemia akut yang menyerang setiap harinya. Beberapa bagian tubuhku
membengkak karena komplikasi getah limpa. Aku sudah seperti boneka yang
tak bernyawa. Thalasemia telah merenggut kehidupan masa mudaku secara
nyata.
Itulah aku.
Aku
adalah aku. Aku jelas berbeda dengan Arya, adikku. Ia adalah
satu-satunya saudara kandungku, satu-satunya keluarga yang kupunya
selain Ibu. Usianya setahun lebih muda dariku. Kami terlahir dari gen
yang sama, tapi secara lahiriah, kami berbeda. Kami bagai bumi dan
langit. Semacam paradoks yang berlainan satu sama lain. Arya adalah
pemuda luar biasa. Tak ada kelainan pada fisiknya, ia terlahir sehat
tanpa warisan penyakit dari Ayah. Arya adalah kebalikan dari diriku. Ia
pemuda yang aktif dan selalu tertarik pada hal baru. Jiwa petualang
dalam dirinya amatlah besar. Ia telah mendapatkan semua hal yang
diinginkan setiap manusia belia. Memiliki banyak kawan, aktif dalam
pergaulan dan mendapat pendidikan yang layak di salah satu universitas
ternama.
Aku dan Arya memang berbeda. Selain persamaan struktur DNA, hanya ada
satu hal yang membuat kami sama, yakni seni. Kami berdua sama-sama
terobsesi dengan seni. Kurasa ini tidak ada hubungannya dengan faktor
keturunan atau silsilah keluarga. Seni telah menyatukan kami. Aku seni
lukis, dan ia fotografi. Hobinya dalam fotografi berbanding lurus dengan
hasrat petualangnya yang tinggi. Ia senang berpetualang dengan kamera
DSLR-nya. Ia selalu menenteng kamera itu kemana-mana. Dua tahun lalu,
aku memberikan kamera itu. Aku membelinya dari hasil penjualan beberapa
karya lukisanku. Kamera itu telah menjadi bagian dari dirinya, bahkan
menjadi salah satu modal dari proyek ambisiusnya.
Semua ini bermula saat setahun lalu, saat ia pertama kali menceritakan
proyek gilanya. Secara mengejutkan, ia ungkapkan keinginan untuk cuti
sejenak dari kuliah ekonominya. Ada sebuah proyek besar yang tiba-tiba
mengubah haluan hidupnya, sebuah proyek irasional yang mungkin akan
membuat siapa saja terbelalak begitu mendengarnya.
"Aku akan keliling dunia untuk thalasemia!" begitu katanya, penuh
semangat. Percakapan kami di ujung senja berubah menjadi kejutan absurd
yang sulit dipercaya. "Kakak dan Ibu tak perlu khawatir. Ada banyak
sponsor yang akan mendanai proyek ini. Aku akan melakukan perjalanan
dengan sepeda. Aku akan keliling dunia!"
Itu adalah hal tergila yang pernah aku dengar. Adikku akan bersepeda
sendiri keliling dunia demi proyek amal untuk para penderita thalasemia.
Siapa yang sudah mencuci otak adikku ini? Kurasa ia terlalu banyak
menonton tayangan Travel Channel. Dunia begitu luas. Roda sepeda tak
akan mungkin mampu menaklukannya.
"Thalasemia dan surga, hanya itulah alasanku melakukan semua ini."
"Surga?"'
"Ya, surga. Ini adalah sebuah misi suci. Akan kubuat dunia mengerti apa
itu thalasemia. Ini semua demi Kakak, mendiang ayah kita, dan seluruh
penderita thalasemia yang ada di seluruh dunia."
"Jangan bicara tentang surga. Bagimu, surga itu hanya sebesar 35
milimeter ukuran diameter lensa kamera. Janganlah kamu berbuat gila!
Dunia tak seindah yang terpotret dalam lensa. Dunia tak seperti yang
kamu kira."
"Aku akan menunjukkannya, Kak! Aku akan melakukannya!"
Obsesi absurd Arya benar-benar terlaksana. Aku benar-benar tak percaya.
Hari Kamis, tanggal 5 Mei, tepat di Hari Thalasemia Sedunia, ia memulai
titik nol kilometernya dari Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Bersama
iring-iringan sponsor dan ratusan penderita thalasemia, aku dan Ibu
melepasnya. Ia berhasil menggaet beberapa sponsor untuk mendukung
aksinya, diantaranya ada Yayasan Thalasemia Indonesia dan sebuah LSM
internasional asal Amerika. Ia dibekali berbagai perlengkapan memadai
untuk menunjang penjelajahannya. Ia melakukan semua ini bukan untuk
memecahkan rekor dunia, tapi untuk membuktikan kalau kami ada: penderita
thalasemia.
Seribu kilometer lebih telah ia tempuh selama 19 hari untuk sampai di
Medan. Selat Malaka dilewati, negeri jiran disusuri hingga negeri
Takshin Shinawatra pun dijejaki. Ia masuk Thailand lewat Pattani, kota
rawan konflik yang untungnya sedang dalam kondisi aman terkendali. Di
negeri gajah putih, ia mulai merasakan perbedaan budaya yang cukup
signifikan. Ia bahkan sempat bertemu dengan seorang anak penderita
thalasemia di Rumah Sakit Bumrungrad di Bangkok. Sebuah momen penuh haru
pun sempat ia abadikan.
"Love for Nathon Nakshucay! Bocah manis yang berjuang dari keganasan
thalasemia di Thailand. Usianya baru menginjak delapan, tapi semangatnya
untuk bertahan hidup tak akan pernah bisa terpatahkan!"
Begitu bunyi keterangan foto yang ia unggah ke halaman Facebook dan
Twitter-nya. Empati adalah sebuah bahasa universal yang bisa menembus
semua batas budaya. Lebih dari separuh kasus thalasemia terjadi di Asia.
Thailand hanya salah satu contohnya. Aksi Arya telah membuat kami
membuka mata. Ternyata perjuangan ini bukan milik kami saja.
Thailand-Laos-Vietnam mampu dilewatinya dalam waktu 3 bulan. Waktu
terasa begitu cepat berlalu sampai aku sadar ia sudah menembus China.
Tak lupa ia selalu bagikan setiap momen berharga lewat email, blog, dan
berbagai jejaring sosial miliknya. Ia tak pernah berhenti menyajikan
foto-foto indah. Mulai dari fotonya di sungai Mekong, suasana perbatasan
tiga negara di Golden Triangle, pose di gerbang Patuxai di kota
Vientiane, sampai ikut tari caping di salah satu desa di Vietnam. Ia
masuk China lewat kota Lang Son di Vietnam Utara. Dari China, ia akan
memulai perjalanan mengikuti jalur sutera.
"Halo semuanya! Aku sudah berada di China. Thalasemia masih sangat
asing di sini, tapi aku akan berusaha untuk tetap mengkampanyekannya,"
ucap Arya dalam status Facebook-nya. Ia selalu berusaha untuk terhubung
dengan kami sekeluarga, entah itu lewat email, sambungan telepon
internasional ataupun lewat video chat. Ia cerita kalau ia sempat
kehilangan sepedanya di salah satu desa di Ciang Rai, Thailand. Bahkan
ia pun hampir kecopetan saat tersesat di di sebuah pasar di Laos
Selatan.
China-Kazakhstan ditempuhnya selama dua bulan setengah dengan melewati
terjalnya daratan dan pegunungan. Panas, hujan, bahkan badai, datang
silih berganti. Siang dan malam hanya sekadar efek rotasi bumi. Dari
dataran tinggi Yunan hingga Kwen Lun, dari Xinjiang hingga Alma Ata.
Berbagai jenis orang telah ia temui. Dari etnis Han yang mendominasi,
etnis Uyghur yang masih terdiskriminasi hingga etnis Kirgiz dan Kazakh
yang sedang mencoba mencicipi modernisasi. Jantung Asia sudah dilewati.
Kini benua biru sudah menanti.
Aku masih belum bisa percaya kalau adikku melakukan semua ini. Kami
belajar sepeda 17 tahun lalu dan ia sudah mengayuh pedal sejauh itu.
"Kamu selalu membonceng Kakak saat pergi ke sekolah, dan sekarang kamu
membonceng harapan para penderita thalasemia yang ada di seluruh
Indonesia, bahkan dunia," kataku dalam sebuah video chat via Skype pada
tanggal 15 November. Saat itu Ia sedang bersantai di sebuah motel di
Astana, ibukota Kazakhstan. Aku dan Ibu takjub melihat sosoknya
terpampang di monitor komputer.
"Ah, Kakak bisa saja!" Ia tertawa. "Kakak dan Ibu sudah lihat foto-foto
terbaruku, kan? Semuanya benar-benar luar biasa!"
"Iya, Ibu sudah lihat. Jaga selalu kesehatanmu! Ibu selalu mendoakanmu di sini."
"Iya, Bu, aku selalu mengingat kata-kata Ibu. Doakan aku agar aku bisa
cepat menyelesaikan misi ini. Sebentar lagi aku akan sampai di Rusia.
Mungkin untuk beberapa lama aku tak akan bisa menghubungi Ibu dan Kakak.
Aku akan melanjutkan perjalanan menuju danau Ural dengan melewati
pangkalan roket luar angkasa Baikonur di selatan Kazakhstan. Katanya
sinyal internet di sana sangat jelek."
"Ibu dan Kakakmu mengerti. Tapi kalau memungkinkan, usahakan untuk
tetap menghubungi kami." Naluri Ibu tengah bersuara. Kami berjarak
puluhan ribu kilometer jauhnya, tapi tak ada batasan geografi jika batin
seorang ibu telah bicara.
"Iya, Bu, aku akan usahakan. Aku sayang Ibu."
Arya melanjutkan perjalanan sucinya dengan menembus segala rintangan
iklim dan cuaca. Aku selalu menunggu kabar darinya. Bagaimana mungkin
kami terpisah selama 2 minggu lamanya. Setelah dari danau Ural, ia akan
lanjut ke arah timur laut menuju Rusia, tapi aku belum mendapat satu
kabarpun darinya. Ini aneh.
Sebulan telah berlalu. November telah berganti Desember. Musim gugur
telah berganti menjadi musim dingin. Tak ada yang berubah kecuali resah
yang terus membuncah. Kami sangat mengkhawatirkannya. Pihak sponsor yang
turut serta memberangkatkannya berusaha mencari keberadaannya.
Kemanakah ia kayuh sepedanya? Apa yang telah terjadi padanya? Sinyal GPS
tak memberikan tanda. Jangan katakan kalau adik kecilku telah hilang.
Terkadang ia memang bisa menjadi orang yang sangat menyebalkan.
Terkadang ia terlalu asyik dengan dunianya sendiri hingga melupakan
peradaban. Aku yakin ia akan segera menghubungi kami. Ini hanya soal
waktu.
* * *
Aku
perlihatkan senyum untuk menyamarkan bentuk tulang wajahku yang tak
biasa. Aku memandang lensa kamera. Latar belakang dinding ruang tamu
yang bewarna putih terlihat kontras dengan kaos hitamku. Sekelibat
kilatan lampu lensa menyilaukan mata. Arya langsung melihat hasil
jepretan dari LCD kameranya.
"Tumben Kakak mau difoto. Emangnya buat apa, sih?" Ia ulangi lagi pertanyaan yang tadi belum sempat kujawab.
Aku tersenyum.
"Ini cuma buat jaga-jaga aja."
"Jaga-jaga buat apa?"
"Jaga-jaga kalau sewaktu-waktu kamu butuh foto untuk kolom obituari..."
* * *
Aku
masih dirawat di rumah sakit dan Ibu masih menemaniku di sini. Cairan
infus sudah menjadi teman sejati, senyum dokter sudah menjadi hal basi.
Aku hanya tinggal menunggu terbitnya kolom obituari.
Sebentar lagi seseorang akan datang kemari. Katanya, ia akan
menyerahkan sesuatu yang mungkin selama ini kami cari. Apakah itu? Aku
tak mau terlalu berekspektasi. Bagiku ini hanya bagian dari mimpi. Aku
tak mau berandai-andai lagi. Biarkan saja semua berjalan sesuai kendali.
Orang itu telah tiba. Ia adalah salah satu staf kementerian luar negeri
yang ditugaskan secara khusus untuk menemui kami. Kami sudah siap
dengan segala kemungkinan yang terjadi. Apapun yang dikatakannya takkan
kami ingkari. Kami sudah lama menantikan ini.
"Kami datang untuk menyerahkan ini," kata pria berbatik seraya
memberikan sebuah kotak berukuran 50 kali 30 sentimeter. Aku yang masih
duduk terbaring segera membuka kotak itu. Ada topi, jurnal ekspedisi,
dan sebuah kamera yang beberapa bagiannya sudah tak lengkap lagi. "Semua
ini punya Arya. Kami menemukannya di perbatasan Kazakhstan-Rusia
beberapa waktu lalu."
Batinku berontak, dan aku yakin kalau batin Ibu lebih berontak lagi.
Aku coba lunakkan emosi. Kuambil kamera yang sudah menemani adikku
selama dua tahun belakangan ini. Sulit dipercaya, ternyata kameranya
masih berfungsi. Kucoba periksa beberapa folder yang tersimpan di memori
kamera itu. Dari layar LCD 3 inchi-nya, aku dan Ibu memperhatikan
setiap gambar yang berhasil terabadikan olehnya.
Foto-foto perjalanannya berhasil terabadikan dengan sempurna. Fotonya
saat bersantai di dekat danau Ural, fotonya saat di area pangkalan roket
luar angkasa Baikonur, dan masih banyak foto menakjubkan lainnya. Dan
aku dibuat berhenti bernapas ketika melihat foto terakhirnya. Ia berpose
di salah satu area di pegunungan Ural bersama sebuah spanduk
bertuliskan "Love for Thalassemia". Tapi bukan itu yang membuatku
berhenti bernapas untuk sementara. Ia memakai kaos putih yang
bertuliskan namaku di dadanya. A R K A, keempat huruf yang membentuk
namaku itu ditulis dalam warna merah menyala. Aku tersenyum dibuatnya.
Aku tak tahu di mana kini kau berada, tapi aku yakin kau baik-baik
saja. Tertulis jarak 35.603 kilometer dalam jurnal ekspedisimu. Kau
sudah mengayuh sepeda terlalu jauh, adikku. Kami sungguh bangga padamu.
Perjalananmu telah terabadikan dalam surga 35 milimetermu. Terima kasih
atas segala perjuanganmu. Lekaslah pulang! Kami di sini menunggu
ceritamu.
Pulanglah! Secepatnya... Selesai.
0 Response to " Aku akan keliling dunia dan menemukan surga"